Kurangnya Pemahaman
Abstract
Upaya pemertahanan dan pengembangan bahasa Jawa masih menempatkan
siswa sebagai objek, berposisi sebagai penerima petuah. Siswa belum
diberdayakan secara optimal, baik di kelas maupun di luar kelas. Siswa
memiliki kemampuan yang luar biasa apabila dieksplorasi dan dijadikan
sumber daya manusia melalui
strategi pengembangan yang tepat dan menyenangkan untuk mencapai tujuan tersebut. Oleh sebab itu, tujuan
penulisan tinjauan ilmiah ini adalah untuk memaparkan tentang strategi pemertahanan dan pengembangan bahasa Jawa melalui optimalisasi siswa dalam mengapresiasi ‘cerita cekak.’ Lebih lanjut cerita cekak akan disebut cerkak saja.
strategi pengembangan yang tepat dan menyenangkan untuk mencapai tujuan tersebut. Oleh sebab itu, tujuan
penulisan tinjauan ilmiah ini adalah untuk memaparkan tentang strategi pemertahanan dan pengembangan bahasa Jawa melalui optimalisasi siswa dalam mengapresiasi ‘cerita cekak.’ Lebih lanjut cerita cekak akan disebut cerkak saja.
Permasalahan yang dibahas dalam tinjauan ilmiah ini yaitu:
(1) Bagaimanakah sikap siswa terhadap upaya pemertahanan dan pengembangan bahasa Jawa?;
(2) Pembiasaan apa sajakah yang dapat mempengaruhi minat siswa dalam mengapresiasi cerkak sebagai wujud keikutsertaannya dalam upaya pemertahanan dan pengembangan bahasa Jawa?;
(3) Kiat apa sajakah yang dapat dilakukan guru agar dapat mensukseskan aktivitas siswa dalam mengapresiasi cerkak sebagai wujud keikutsertaannya dalam upaya pemertahanan dan pengembangan bahasa Jawa?
(1) Bagaimanakah sikap siswa terhadap upaya pemertahanan dan pengembangan bahasa Jawa?;
(2) Pembiasaan apa sajakah yang dapat mempengaruhi minat siswa dalam mengapresiasi cerkak sebagai wujud keikutsertaannya dalam upaya pemertahanan dan pengembangan bahasa Jawa?;
(3) Kiat apa sajakah yang dapat dilakukan guru agar dapat mensukseskan aktivitas siswa dalam mengapresiasi cerkak sebagai wujud keikutsertaannya dalam upaya pemertahanan dan pengembangan bahasa Jawa?
Tujuan penulisan tinjauan ilmiah ini adalah:
(1) memberikan deskripsi tentang sikap siswa secara umum terhadap upaya pemertahanan dan pengembangan bahasa Jawa;
(2) memaparkan habituasi/ pembiasaan yang dapat mempengaruhi minat siswa dalam mengapresiasi cerkak sebagai wujud keikutsertaannya dalam upaya pemertahanan dan pengembangan bahasa Jawa;
(3) merekomendasikan beberapa kiat yang dapat dilakukan guru agar dapat mensukseskan aktivitas siswa dalam mengapresiasi cerkak sebagai wujud keikutsertaannya dalam upaya pemertahanan dan pengembangan bahasa Jawa.
(1) memberikan deskripsi tentang sikap siswa secara umum terhadap upaya pemertahanan dan pengembangan bahasa Jawa;
(2) memaparkan habituasi/ pembiasaan yang dapat mempengaruhi minat siswa dalam mengapresiasi cerkak sebagai wujud keikutsertaannya dalam upaya pemertahanan dan pengembangan bahasa Jawa;
(3) merekomendasikan beberapa kiat yang dapat dilakukan guru agar dapat mensukseskan aktivitas siswa dalam mengapresiasi cerkak sebagai wujud keikutsertaannya dalam upaya pemertahanan dan pengembangan bahasa Jawa.
Tinjauan ilmiah ini ditulis dengan menggunakan metode deskriptif.
Hasil pemaparan gagasan berupa pendeskripsian tentang pentingnya
melibatkan siswa secara aktif dalam upaya pemertahanan dan pengembangan
bahasa Jawa melalui apresiasi cerkak. Minat siswa terhadap
bahasa Jawa diukur berdasarkan indikator sikap kesetiaan, kebanggaan,
dan kesadaran akan adanya norma bahasa Jawa. Berdasarkan hasil
pengamatan, siswa di wilayah perkotaan Semarang masih rendah minatnya
terhadap bahasa Jawa. Pembiasaan yang dapat meningkatkan motivasi siswa
untuk mengapresiasi cerkak adalah sebagai berikut: siswa didorong untuk memperoleh pengalaman baru tentang cerkak; siswa sering diberikan sinopsis cerkak secara menarik, pada prapembelajaran siswa diberi kesempatan lima menit untuk menceritakan kembali cerkak
yang telah dibacanya, siswa diperkenalkan beberapa media massa
berbahasa Jawa, siswa diajak aktif mengisi mading dengan berita/ cerita
berbahasa Jawa, dan siswa diberi contoh nyata karya cerkak guru (keteladanan). Adapun kiat yang dapat dilakukan guru agar siswa sukses mengapresiasi cerkak adalah:
(1) merencanakan kegiatan apresiasi cerkak sebagai tugas berstruktur selama satu tahun pelajaran;
(2) mempersiapkan alokasi waktu secara cermat kegiatan apresiasi cerkak, utamanya di luar kelas;
(3) menyiapkan materi ajar cerkak, misalnya berupa kumpulan cerkak pilihan;
(4) memberikan penguatan pada siswa terbaik;
(5) bekerja sama dengan tim majalah dinding sekolah dengan menyiapkan rubrik khusus bahasa Jawa;
(6) melakukan sosialisasi program apresiasi cerkak tersebut secara luas pada warga sekolah.
(1) merencanakan kegiatan apresiasi cerkak sebagai tugas berstruktur selama satu tahun pelajaran;
(2) mempersiapkan alokasi waktu secara cermat kegiatan apresiasi cerkak, utamanya di luar kelas;
(3) menyiapkan materi ajar cerkak, misalnya berupa kumpulan cerkak pilihan;
(4) memberikan penguatan pada siswa terbaik;
(5) bekerja sama dengan tim majalah dinding sekolah dengan menyiapkan rubrik khusus bahasa Jawa;
(6) melakukan sosialisasi program apresiasi cerkak tersebut secara luas pada warga sekolah.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa keteladanan dari guru dan
orang-orang terdekat dalam kehidupan siswa mempunyai potensi besar untuk
menggugah potensi siswa dalam berperan aktif mempertahankan dan
mengembangkan bahasa Jawa. Orang tua, masyarakat luas, guru, dan
pemerintah daerah bekerja sama untuk mewujudkan tujuan pemertahanan dan
pengembangan bahasa Jawa. Jangan sampai siswa pewaris bahasa dan budaya
Jawa ‘tidak tahu-menahu’ tentang perkembangan bahasa ibunya.
I. PENDAHULUAN
Bahasa, sastra, dan budaya Jawa adalah salah satu sarana ‘membangun karakter anak bangsa’ yang efektif. Betapa tidak! Unggah-unguh bahasa dalam dialog keseharian mencerminkan betapa kesantunan penting direalisasikan dalam kehidupan bermasyarakat. Berbagai adicara upacara budaya Jawa sarat dengan ‘pitutur luhur’
yang layak dipertahankan/ dilestarikan dan dikembangkan dalam
masyarakat Jawa. Dan melalui berbagai karya sastra Jawa tersirat
nilai-nilai kehidupan.
Namun kelebihan budaya Jawa tersebut belum sepenuhnya dimanfaaatkan
pemiliknya. Justru ada beberapa masalah yang menyertai ‘keterpurukan
bahasa Jawa’. Pertama, banyak generasi muda terkesan ‘kurang bertanggung
jawab’ terhadap upaya pemertahanan dan pengembangan bahasa Jawa. Kedua,
karena kurang mengenal nilai-nilai luhur budaya Jawa, masih banyak
generasi muda bersikap negatif, sebagai bukti dekadensi moral. Ketiga,
diperoleh data bahwa tingkat literasi bangsa Indonesia, termasuk suku
Jawa, masih rendah. Hal ini dapat dilihat dari data survei UNESCO tahun
2005. Menurut data Education for All (EFA) dan Global Monitoring Report (GMR) 2005, Indonesia adalah negara ke-8 dengan populasi buta huruf terbesar di dunia (Illahi, 2005).
Kurangnya minat baca dibuktikan dengan indeks membaca masyarakat
Indonesia yang baru berkisar 0,001. Angka ini masih sangat jauh
dibandingkan dengan angka minat baca di Singapura. Indeks membaca di
negara itu mencapai 0,45. Budaya baca masyarakat Indonesia berada di
urutan ke-38 dari 39 negara dan merupakan yang paling rendah di kawasan
ASEAN. Hal ini diperkuat dengan laporan Witdarmono (Kompas Com, 23
Nopember 2010) menyebutkan bahwa dua alat ukur internasional (Progress in International Reading Literacy Study dan Programme for International student assessment) memperlihatkan tingkat literasi anak-anak Indonesia usia 9-15 tahun berada di peringkat lima terbawah.
Ketidaktertarikan siswa dalam upaya pemertahanan dan pengembangan
bahasa Jawa serta rendahnya angka literasi perlu dicarikan jalan
keluarnya. Pasti ada yang salah dalam pola asuh di rumah dan di
sekolah. Berdasarkan logika, penguasaan bahasa ibu (baca: bahasa Jawa)
seharusnya mereka kuasai terlebih dahulu. Kekurangmampuan menguasai
bahasa ibunya ternyata dapat menyebabkan rendahnya minat siswa terhadap
bahan bacaan berbahasa Jawa. Dipandang perlu dilakukan satu strategi
‘pembumian’ bahasa Jawa pada generasi muda Jawa melalui pembiasaaan
mengapresiasi cerita cekak. Beberapa pertimbangan melatarbelakangi mengapa memilih cerkak dan bukan memilih wacana karya ilmiah.
Pemilihan wacana cerkak dilatarbelakangi ketertarikan siswa.
Siswa umumnya lebih memilih wacana fiksi yang ringan dibandingkan
dengan wacana ilmiah. Pertimbangan kedua adalah tingkat kesukaran dari
keduanya. Cerkak lebih mudah dipahami siswa daripada wacana ilmiah. Pertimbangan ketiga karena disesuaikan dengan tujuan penggunaan wacana cerkak. Strategi apresiasi cerkak
selain dipilih sebagai alternatif untuk mengatasi kecilnya atensi siswa
terhadap bahasa Jawa, juga untuk mengatasi rendahnya minat baca, serta
merosotnya dekadensi moral kalangan pelajar.
Siswa yang tidak terbiasa membaca diduga akan lebih tidak suka
membaca apabila dihadapkan pada bahan bacaan ilmiah. Lebih efektif
apabila ‘tingkat pertama’ pembiasaan membaca dimulai dari wacana ringan
‘menyenangkan’ yaitu cerita fiksi berupa cekak. Bahan bacaannya relatif
pendek, isinya hasil imajinasi yang tidak harus ditanggapi secara
serius, namun di dalamnya menyiratkan banyak nilai kehidupan. Melalui cerkak
tersimpan nilai-nilai kehidupan yang penting antara lain menyangkut
aspek kejujuran,kemunafikan, keberanian, ketakutan, kebenaran,
kebatilan, kesetiaan, penghianatan dan lain-lain (Yudiono 1981:21-22).
Dengan membiasakan diri membaca cerkak, siswa akan terbiasa
dengan kosa kata bahasa Jawa, mengetahui nilai kesastraan Jawa yang
adiluhung, dan secara tidak langsung belajar tentang budaya Jawa yang
sering dituturkan dalam cerkak.
Apresiasi cerkak dapat digunakan sebagai salah satu strategi
untuk mempertahankan dan meningkatkan eksistensi bahasa Jawa. Apresiasi
yang paling ditonjolkan dalam kegiatan mengapresiasi cerkak ini adalah
membaca dan menceritakan kembali. Membaca (termasuk di dalamnya membaca cerkak) tidak sekadar aktivitas menyandi (decoding) simbol-simbol ke dalam bunyi bahasa saja, tetapi juga membangun (construct) makna ketika berinteraksi dengan wacana (Rahim 2007:14).
Rumusan masalah dalam penulisan ilmiah berikut ini adalah:
(1) Bagaimanakah sikap siswa terhadap upaya pemertahanan dan pengembangan bahasa Jawa?;
(2) Pembiasaan apa sajakah yang dapat mempengaruhi minat siswa dalam mengapresiasi cerkak sebagai wujud keikutsertaannya dalam upaya pemertahanan dan pengembangan bahasa Jawa?;
(3) Kiat apa sajakah yang dapat dilakukan guru agar dapat menyukseskan aktivitas siswa dalam mengapresiasi cerkak sebagai wujud keikutsertaannya dalam upaya pemertahanan dan pengembangan bahasa Jawa?
(1) Bagaimanakah sikap siswa terhadap upaya pemertahanan dan pengembangan bahasa Jawa?;
(2) Pembiasaan apa sajakah yang dapat mempengaruhi minat siswa dalam mengapresiasi cerkak sebagai wujud keikutsertaannya dalam upaya pemertahanan dan pengembangan bahasa Jawa?;
(3) Kiat apa sajakah yang dapat dilakukan guru agar dapat menyukseskan aktivitas siswa dalam mengapresiasi cerkak sebagai wujud keikutsertaannya dalam upaya pemertahanan dan pengembangan bahasa Jawa?
Landasan teoretis dalam penulisan makalah ini antara lain meliputi
ruang lingkup proses pendidikan, strategi pemertahanan dan pengembangan
bahasa Jawa, dan apresiasi cerkak.
Visi makro pendidikan nasional adalah terwujudnya masyarakat madani
sebagai masyarakat Indonesia baru dengan tatanan kehidupan yang sesuai
dengan amanat proklamasi melalui proses pendidikan (Supratman, 2007:13).
Penyelenggaraan pendidikan lebih menekankan proses pendidikan yang
tertata, bukan sekadar hasil akhirnya. Sejalan dengan pernyataan
tersebut, menurut De Porter dan Hernacki (2000 dalam Hidayatullah,
2009:150) kurikulum sekolah berisi tiga unsur yang disajikan secara
harmonis, yaitu:
(1) keterampilan akademik/ Academic Skills;
(2) keteampilan hidup/ Life skills; dan
(3) tantangan-tantangan atau kemampuan fisik/ Physical Challenges.
(1) keterampilan akademik/ Academic Skills;
(2) keteampilan hidup/ Life skills; dan
(3) tantangan-tantangan atau kemampuan fisik/ Physical Challenges.
Tantangan yang muncul dalam upaya pemertahanan dan pengembangan
bahasa Jawa harus diberitahukan secara nyata kepada siswa, sebagai
generasi muda pemilik warisan budaya Jawa. Agar tantangan tersebut dapat
direspon dengan baik, perlu satu strategi yang dapat diterapkan secara
leluasa, baik waktu siswa berada di lingkup sekolah (30%) maupun waktu
dia sebagai anggota masyarakat Jawa (70%) .
Upaya ‘penyadaran siswa perkotaan’ tersebut perlu strategi. Strategi
(Sulistyorini,2007) merupakan pola umum aktivitas guru-siswa di dalam
perwujudan kegiatan pembelajaran. Strategi yang dimaksudkan di sini
adalah aktivitas belajar siswa di luar kelas dalam mengapresiasi cerkak berdasarkan panduan guru dalam rangka mempertahankan dan mengembangkan budaya Jawa.
Pemertahanan merupakan satu kegiatan untuk tidak mau menyerah,
berkeras hati, melakukan tindakan supaya tetap utuh (Sitanggang,2004).
Pemertahanan/ pelestarian bahasa Jawa dilakukan agar penggunaan bahasa
Jawa tetap awet, tidak tergerus oleh pengaruh bahasa lainnya.
Pemertahanan bahasa Jawa, yang berkedudukan sebagai language maintenance
lazim didefinisikan sebagai upaya yang disengaja, yang bertujuan untuk
mewujudkan diversitas kultural, memelihara identitas etnis,
memungkinkan adaptabilitas sosial, secara psikologis menambah rasa aman
bagi anak, dan meningkatkan kepekaan linguistis (Crystal, 1997). Tujuan
utama upaya pemertahanan bahasa Jawa adalah bahasa dan budaya lokal
tersebut tetap berdiri kokoh dan menjadi pilihan penutur serta mitra
tutur dalam kegiatan keseharian masyarakat daerah tersebut.
Pengekalan budaya Jawa tidak berhenti pada upaya pemertahanan saja,
idealnya harus diikuti upaya pengembangan bahasa Jawa tersebut.
Pengembangan bahasa Jawa mengandung maksud jangkauan penggunaan bahasa
tersebut lebih luas, sehingga semakin maju. Pemertahanan dan
pengembangan bahasa Jawa dapat dilakukan melalui strategi apresiasi cerkak para siswa belajar bahasa, sastra, dan budaya Jawa dengan lebih leluasa.
Yang dimaksud siswa dalam pembahasan ini adalah para pelajar,
khususnya siswa SD kelas tinggi, siswa SMP, dan siswa SMA atau
sederajat. Siswa yang berdomisili di wilayah perkotaan Semarang dipilih
sebagai sumber pengamatan, karena sebagian besar mereka dalam keseharian
sudah menggunakan dua bahasa (bahasa Jawa, minoritas, dan bahasa
Indonesia, mayoritas). Siswa dalam kelompok ini dipandang sangat perlu
mendapat ‘perlakuan khusus’, agar segera menyadari pentingnya upaya
pelestarian bahasa ibu (baca: bahasa Jawa).
Cerita cekak/ cerkak adalah kisahan pendek (kurang dari
10.000 kata) yang dimaksudkan memberikan kesan tunggal yang dominan,
memusatkan diri pada satu tokoh dalam satu situasi pada satu situasi
yang mengandung satu tikaian dramatik/ konfliks. Tikaian dramatik
merupakan perbenturan antara kekuatan yang berlawanan, merupakan inti
dari cerpen/ cerkak (Sudjiman (Ed) 1984:15).
Apresiasi (Sitanggang, 2004:53) adalah penghargaan terhadap sesuatu. Optimalisasi apresiasi cerkak
adalah usaha maksimal siswa untuk lebih menghagai cerita rekaan singkat
agar lebih mengerti tentang bahasa, sastra, dan budaya Jawa sehingga
turut terlibat aktif dalam melestarikannya. Sikap menghargai cerkak meliputi kegiatan membaca, menceritakan kembali, memberi penilaian/ kritik, dan bila perlu turut memproduksinya.
II. METODE
Penulisan tinjauan ilmiah ini menggunakan metode deskriptif
(Sukmadinata, 2008). Penyajian gagasan berupaya memberikan gambaran
tentang fenomena perilaku siswa terhadap budaya Jawa, hasil analisis
tentang habituasi yang dapat mempengaruhi sikap/ minat siswa terhadap
kegiatan apresiasi cerkak, dan hasil kegiatan sintesis tentang
gambaran kiat-kiat yang dapat dilakukan guru dalam upaya pelestarian
budaya Jawa. Sumber pengamatan adalah perilaku siswa SD (kelas tinggi),
SMP, SMA dan sederajat. Lokasi pengamatannya adalah wilayah perkotaan di
Semarang. Hasil pengamatan tentang perilaku siswa digambarkan sesuai
kondisi yang ada.
III. PEMBAHASAN
3.1 Minat Siswa terhadap Bahasa Jawa
Kajian tentang bahasa yang dikaitkan dengan faktor di luar bahasa
semakin berkembang sejak pertengahan abad ke-19 (Rokhman, 2005:1).
Holmes (1992:56) menyatakan bahwa berkenaan dengan
kemungkinan-kemungkinan pengaruh kontak bahasa, ada beberapa faktor yang
membuat sekelompok masyarakat bergeser dari penggunaan satu bahasa ke
bahasa lain ketika mereka berkomunikasi.
Bahasa yang bergeser adalah bahasa yang tidak mampu mempertahankan
diri (Sumarsono dan Partana 2002:231). Dalam literatur sosiolinguistik
makro, kajian pemertahanan bahasa lazimnya tertuju pada bahasa ibu dalam
konteks bilingual, yang dalam hal ini terdapat bahasa ibu dan bahasa
kedua/ nasional (minor language, major language).
Hal itu sangat mungkin terjadi pada masyarakat Indonesia yang berasal
dari berbagai etnis (bersifat heterogen). Kenyataan bahwa masyarakat
Jawa umumnya, khususnya para siswa yang berdomisili di perkotaan,
kurang peduli terhadap berkembangnya bahasa daerah. Bahasa Jawa itu
secara lambat sudah mengalami pergeseran (language shift), bahkan bisa saja menuju ke arah kepunahan bahasa (language death).
Betapa mengerikan! Seharusnyalah para siswa pewaris budaya Jawa
mengetahui kemungkinan terburuk nasib bahasa dan budaya Jawa, yang
menjadi warisan budaya dari leluhurnya.
Pembentukan karakter dan pembiasaan menggunakan bahasa Jawa diawali
dari pendidikan dalam keluarga, sebagai wujud pola pengasuhan (parenting style)
keluarga. Pendidikan informal (dalam keluarga dan lingkungan) memiliki
kontribusi yang sangat besar (70%) dalam keberhasilan pendidikan. Beban
dan tanggung jawab orang tua dalam mendidik anaknya tidak bisa dialihkan
(Kartadinata, 2010). Generasi muda, terutama saat anak-anak yang masuk
tahap masa keemasan penguasaan bahasa, perlu secara intensif
diperkenalkan kepada bahasa daerah oleh orang tua dan dilanjutkan upaya
pembiasaan penggunaan bahasa daerah tersebut.
Pemertahanan/ pelestarian bahasa Jawa adalah tanggung jawab bersama
pemilik bahasa etnis tersebut. Orang tua harus betul-betul bertujuan
mewariskan bahasa etnisnya pada keturunannya, seperti halnya keinginan
mewariskan kekayaan berupa harta misalnya. Sikap dan perilaku orang tua
benar-benar dapat diteladani para putranya dalam hal memperlakukan
bahasa etnis tersebut. Sekali lagi, orang tua “melakukan kegiatan
mewariskan bahasa Jawa”, bukan “menceritakan bahasa Jawa.” Semua orang
tua yang merasa memiliki bahasa etnis tersebut harus memiliki emosi
untuk mempertahankannya. Tanpa emosi, lewatlah upaya pewarisan bahasa
kepada para generasi penerus etnis. Namun tampaknya kewajiban orang tua
belum berjalan seperti yang diharapkan tersebut. Minat siswa terhadap
bahasa Indonesia masih perlu ditingkatkan lagi.
Beberapa indikator dapat digunakan untuk mengungkap minat siswa
terhadap keberadaan bahasa Jawa. Indikator yang mencerminkan ciri sikap
positif terhadap bahasa Jawa sebagai bagian dari budaya Jawa dapat
dideskripsikan berikut:
(1) siswa mampu menunjukkan sikap setia menggunakan bahasa Jawa dalam komunikasi sehari-hari di rumah;
(2) siswa memiliki kebanggaan dalam memahami, menggunakan, dan mengapresiasi bahasa Jawa;
(3) siswa mampu menunjukkan kesadaran akan adanya norma bahasa Jawa.
(1) siswa mampu menunjukkan sikap setia menggunakan bahasa Jawa dalam komunikasi sehari-hari di rumah;
(2) siswa memiliki kebanggaan dalam memahami, menggunakan, dan mengapresiasi bahasa Jawa;
(3) siswa mampu menunjukkan kesadaran akan adanya norma bahasa Jawa.
Berdasarkan pengamatan dan wawancara berbahasa Jawa, siswa secara
umum kurang dapat berkomunikasi secara lancar. Umumnya jawaban pendek ‘inggih’ dan ‘boten’
dapat digunakan dengan baik. Namun bila jawabannya membutuhkan paparan
yang cukup panjang, mereka lebih suka menjawab dalam bentuk campur kode
(bahasa Indonesia dan bahasa Jawa digunakan bersamaan dalam satu
kalimat). Bahkan ada yang beberapa siswa yang menjawab pertanyaan
berbahasa Jawa dengan bahasa Indonesia sepenuhnya. Siswa umumnya kurang
bersikap positif, tidak berusaha mendorong diri dan lingkungannya untuk
mempertahankan kemandirian bahasanya. Siswa tidak bersikap mencegah
masuknya bahasa lain. Hal ini menunjukkan siswa belum memiliki kesetiaan
terhadap bahasa Jawa sebagai kekayaan kultur daerahnya.
Siswa secara umum kurang percaya diri dalam menggunakan bahasa Jawa.
Mereka tidak berusaha maksimal untuk berbahasa Jawa secara benar dalam
kelompoknya, sehingga identitas pribadi dan kelompoknya belum dapat
digunakan sebagai pembeda dari kelompok lainnya. Ini menunjukkan bahwa
kebanggaan berbahasa Jawa belum melekat dalam diri siswa.
Pada umumnya siswa kurang antusias mempelajari norma-norma bahasa
Jawa. Gradasi yang ada dalam bahasa Jawa tidak dikuasai dengan baik.
Siswa secara serampangan menggunakan kosa kata bahasa Jawa tanpa
mengingat lawan bicaranya. Dalam lingkungan pergaulan siswa di perkotaan
Jawa Semarang, unggah-ungguh bahasa Jawa dianggap sebagai
sesuatu yang susah diterapkan dalam keseharian. Sikap cermat, korek, dan
santun berbahasa Jawa belum muncul dalam diri siswa. Hal ini dapat
ditemukan cara mereka menjawab LKS (lembar kerja siswa) apabila tidak
ada bantuan dari guru maupun orang tua. Bagi orang yang paham bahasa
Jawa, jawaban siswa tampak sangat aneh. Misalnya: Bapak turu; Aku turu.
Hal ini menunjukkan siswa belum mandiri dalam menggunakan bahasa Jawa.
Berarti kesadaran akan adanya norma bahasa Jawa belum dimiliki siswa.
Berdasarkan tiga indikator tersebut dapat disimpulkan bahwa siswa
belum terlibat secara emosional untuk mempertahankan dan mengembangkan
budaya Jawa secara luas. Siswa umumnya belum mampu menunjukkan sikap
setia, bangga, dan sikap menunjukkan kesadaran akan adanya norma dalam
menggunakan bahasa Jawa dalam komunikasi sehari-hari.
Umumnya siswa di wilayah perkotaan Semarang perlu ditumbuhkan minat/
motivasinya untuk turut aktif mempertahankan dan mengembangkan bahasa
Jawa, juga sekali gus sebagai upaya pendongkrak angka literasi bangsa
Indonesia.
Agar ada kesetiaan para pemilik bahasa (language loyalty)
terhadap bahasa daerahnya, upaya pemertahanan dan pengembangan bahasa
sebaiknya dilakukan secara bersama antara masyarakat pemilik bahasa
tersebut dan pemerintah. Satu contoh tataran kebijakan makro telah
dilakukan di Jawa Barat untuk melindungi pelestarian budaya lokal,
termasuk di dalamnya bahasa daerah setempat. Sudah terbit tiga peraturan
daerah (Perda), yaitu:
1) Perda Nomor 5 Tahun 2003 tentang pemeliharaan bahasa, sastra dan aksara daerah,
(2) Perda Nomor 6 Tahun 2003 tentang pemeliharaan kesenian, dan
(3) Perda Nomor 7 Tahun 2003 tentang pengelolaan kepurbakalaan, kesejarahan, nilai tradisional dan museum. Ini merupakan kebijakan pemerintahan yang sangat mendukung terhadap upaya pemertahanan bahasa daerah.
1) Perda Nomor 5 Tahun 2003 tentang pemeliharaan bahasa, sastra dan aksara daerah,
(2) Perda Nomor 6 Tahun 2003 tentang pemeliharaan kesenian, dan
(3) Perda Nomor 7 Tahun 2003 tentang pengelolaan kepurbakalaan, kesejarahan, nilai tradisional dan museum. Ini merupakan kebijakan pemerintahan yang sangat mendukung terhadap upaya pemertahanan bahasa daerah.
Peraturan daerah tersebut seyogianya segera diikuti dengan
pembentukan tim perencana bahasa daerah yang beranggotakan para pakar
terkait seperti ahli perencanaan bahasa, linguistik, sastra, seni,
pengajaran bahasa, penerbitan, naskah, dan kebudayaan. Karena kebudayaan
etnis dibangun melalui bahasa etnis, maka bahasa etnis harus
direkayasa, yakni dipertahankan dan diberdayakan melalui beberapa
strategi sesuai dengan lingkupnya sebagai upaya revitalisasi jati diri
untuk menunjang kebudayaan nasional. Sikap dan kesadaran berbahasa
pemilik dan penutur bahasa daerah tersebut kemudian akan tercermin dalam
perilaku berbahasanya (Pateda, 1990:25-32). Sudah sewajarnya bila kita
sebagai pemilik bahasa Jawa berusaha memertahankan dan mengembangkan
bahasa Jawa tersebut dengan berbagai kiat yang efektif dan strategis.
Selain pemerintah, guru juga memiliki potensi yang terandalkan untuk memacu minat siswa melalui kegiatan apresiasi cerkak.
Upaya guru tersebut dapat dimulai dari mengidentifikasi sejumlah
habituasi/ pembiasaan yang dapat meningkatkan minat siswa dalam
mengapresiasi cerkak.
3.2 Pembiasaan-pembiasaan yang dapat Meningkatkan Minat Siswa dalam Mengapresiasi Cerkak
Pembiasaan yang dapat meningkatkan motivasi siswa untuk mengapresiasi cerkak adalah sebagai berikut: (1) siswa didorong untuk memperoleh pengalaman baru tentang isi cerkak;
(2) siswa sering disodori sinopsis cerkak atau sekali-sekali diberikan cerita isi cerkak secara menarik di sela-sela pembelajaran,
(3) pada prapembelajaran siswa diberi kesempatan selama lima menit untuk menceritakan kembali cerkak yang dibacanya pada minggu lalu,
(4) siswa diperkenalkan beberapa media berbahasa Jawa (konsekuensinya sekolah berlangganan majalah pendidikan berbahasa Jawa),
(5) siswa diajak aktif mengisi majalah dinding dengan berita/ cerita berbahasa Jawa,
(6) siswa diberi contoh nyata karya cerkak guru yang digunakan sebagai materi ajar dalam pembelajaran berbahasa Jawa (keteladanan).
(2) siswa sering disodori sinopsis cerkak atau sekali-sekali diberikan cerita isi cerkak secara menarik di sela-sela pembelajaran,
(3) pada prapembelajaran siswa diberi kesempatan selama lima menit untuk menceritakan kembali cerkak yang dibacanya pada minggu lalu,
(4) siswa diperkenalkan beberapa media berbahasa Jawa (konsekuensinya sekolah berlangganan majalah pendidikan berbahasa Jawa),
(5) siswa diajak aktif mengisi majalah dinding dengan berita/ cerita berbahasa Jawa,
(6) siswa diberi contoh nyata karya cerkak guru yang digunakan sebagai materi ajar dalam pembelajaran berbahasa Jawa (keteladanan).
Pengalaman baru mengenal cerkak dengan cara yang menarik
dapat mempengaruhi siswa untuk melanjutkan kegiatannya tersebut. Guru
perlu mendesain pemberian motivasi yang menarik perhatian siswa,
sehingga mereka dengan kesadaran dan keingintahuan mencari sebuah cerkak
di perpustakaan. Jangan sampai guru menuturkan sepenggal kisahan
sebagai pendorong siswa agar siswa melanjutkan membaca cerkak tersebut,
ternyata siswa tak dapat memperoleh cerkak yang dimaksud di
lingkungan terdekatnya. Bukan rahasia lagi kalau sekolah-sekolah umumnya
kurang memiliki koleksi bahan bacaan berbahasa Jawa. Kalau pun ada,
jumlahnya terbatas.
Siswa sering disodori/mendengarkan sinopsis cerkak oleh guru
di sela-sela pembelajaran. Biasanya siswa akan menagih bila sudah lama
guru yang suka bercerita tidak memberikan ‘bonus’ satu kisah fiksi.
Penyajian cerita dari guru tentu saja disesuaikan dengan kompetensi yang
sedang dibelajarkan, agar tidak merugikan siswa dalam penguasaan
seluruh KD dalam standar isi kurikulum bahasa Jawa. Bahkan guru serumpun
(bahasa Indonesia dan bahasa Inggris) bisa diminta dukungannya,
disesuaikan dengan mata pelajarannya.
Pada prapembelajaran seorang siswa diberi kesempatan selama lima
menit untuk menceritakan kembali cerkak yang telah dibacanya. Alokasi
jam pelajaran bahasa Jawa sangat terbatas, maka pandai-pandailah guru
mengatur berbagai kegiatan secara mendetail. Dan sebetulnya sudah
saatnya pihak yang berwenang memikirkan pembenahan alokasi jam pelajaran
bahasa Jawa, minimal dengan pertimbangan alokasi bahasa asing (misal
bahasa Inggris) yang tampak timpang. Setidak-tidaknya alokasi kedua mata
pelajaran tersebut (bahasa Jawa dan bahasa Inggris dibuat berimbang).
Bukankah budaya sendiri harus lebih dikenal dari pada budaya asing?
Siswa diperkenalkan dengan berbagai harian dan media cetak berbahasa
Jawa yang dapat mereka baca. Ada Jaya Baya, Joko Lodang, Penjebar
semangat, dan lainnya. Sebaiknya guru bahasa Jawa juga mengusulkan
sekolah berlangganan media berbahasa Jawa tersebut, setidak-tidaknya
media berbahasa lokal yang terbit di daerahnya. Kenyataan yang ada belum
semua sekolah mengadakan media pembelajaran lokal demikian, padahal
dana BOS (Bantuan Operasional sekolah) sebenarnya dapat digunakan untuk
alokasi pendanaan tersebut. Juga ada yang tampak aneh, beberapa sekolah
sudah berlangganan media yang dimaksud, namun penerbitnya di luar
wilayah siswa belajar. Sebagai misal SMP di kota Semarang umumnya
berlangganan Penjebar Semangat yang terbit di Surabaya, sedangkan media
lokal tidak ada di perpustakaan. Ini dapat dijadikan bahan pertimbangan
pengadaan. Kalau penerbit dekat dengan siswa, minimal siswa suatu ketika
bisa melihat, bahkan berkunjung untuk sekadar melihat-lihat atau bahkan
terlibat dalam kegiatan penulisan di media tersebut. Akan lebih baik
kalau sekolah tidak hanya berlangganan satu media saja. Lebih lanjut
guru memberikan dorongan bagi siswa yang mampu untuk berlangganan
sendiri di rumah. Selama ini media berbahasa Jawa sangat terbatas
peminatnya. Siapa lagi yang membacanya secara ritun, kalau bukan pemilik
bahasa tersebut.
Selama ini mading (majalah dinding) sudah banyak diaktifkan di
sekolah-sekolah. Rubrik berbahasa Jawa umumnya belum dijadikan kolom
khusus yang perlu dimunculkan pada setiap penerbitannya, umumnya hanya
sekali-sekali muncul. Guru bahasa Jawa sebaiknya melihat hal ini sebagai
peluang, bekerja sama dengan tim mading untuk memunculkan secara tetap
rubrik berbahasa Jawa.
3.3 Kiat-kiat Guru Menyukseskan Aktivitas Siswa dalam Mengapresiasi Cerkak
Tujuan pemertahanan dan pelestarian bahasa Jawa akan dapat dicapai
secara efektif bila ada kiat yang telah ditetapkan. Kiat (Sitanggang,
2004) adalah akal yang sangat jitu. Kiat untuk mempertahankan dan
melestarikan bahasa Jawa dapat ditempuh melalui tiga ranah pendidikan,
yakni
(1) ranah pendidikan informal,
(2) ranah pendidikan nonformal, dan juga
(3) ranah pendidikan formal.
(1) ranah pendidikan informal,
(2) ranah pendidikan nonformal, dan juga
(3) ranah pendidikan formal.
Ketiga ranah tersebut dapat dipadukan oleh seorang guru, dikemas
dalam kegiatan apresiasi cerkak. Siswa dapat beraktivitas di rumah, di
luar kelas, dan sedikit waktu (diselipkan dalam pembelajaran kompetensi
lain) di dalam kelas. Dengan demikian guru lebih mengoptimalkan siswa
dalam upaya melestarikan bahasa Jawa melalui pembiasaan siswa
mengapresiasi cerkak.
Kiat yang dapat dilakukan guru adalah:
(1) merencanakan kegiatan apresiasi cerkak secara berkelanjutan sudah tertuang dalam perangkat pembelajaran sebagai tugas berstruktur selama satu tahun pelajaran;
(2) mempersiapkan alokasi waktu secara cermat kegiatan apresiasi cerkak di sela-sela pembelajaran formal, utamanya di luar kelas;
(3) menyiapkan materi ajar cerkak, misalnya berupa kumpulan cerkak pilihan, yang dipilih sesuai dengan tingkat perkembangan siswa;
(4) memberikan penguatan pada akhir semester berupa hadiah khusus siswa terbaik dalam mengapresiasi cerkak;
(5) bekerja sama dengan tim majalah dinding siswa dengan menyiapkan rubrik khusus bahasa Jawa;
(6) melakukan sosialisasi program apresiasi cerkak tersebut secara luas pada warga sekolah.
(1) merencanakan kegiatan apresiasi cerkak secara berkelanjutan sudah tertuang dalam perangkat pembelajaran sebagai tugas berstruktur selama satu tahun pelajaran;
(2) mempersiapkan alokasi waktu secara cermat kegiatan apresiasi cerkak di sela-sela pembelajaran formal, utamanya di luar kelas;
(3) menyiapkan materi ajar cerkak, misalnya berupa kumpulan cerkak pilihan, yang dipilih sesuai dengan tingkat perkembangan siswa;
(4) memberikan penguatan pada akhir semester berupa hadiah khusus siswa terbaik dalam mengapresiasi cerkak;
(5) bekerja sama dengan tim majalah dinding siswa dengan menyiapkan rubrik khusus bahasa Jawa;
(6) melakukan sosialisasi program apresiasi cerkak tersebut secara luas pada warga sekolah.
IV. PENUTUP
4.1 Simpulan
Siswa di wilayah perkotaan Semarang umumnya belum terlibat secara
emosional untuk mempertahankan dan mengembangkan bahasa Jawa. Mereka
belum menunjukkan sikap setia, bangga, dan belum menunjukkan kesadaran
akan adanya norma dalam menggunakan bahasa Jawa dalam komunikasi
sehari-hari. Mereka perlu ditumbuhkan minat/ motivasinya untuk turut
aktif mempertahankan dan mengembangkan bahasa Jawa melalui kegiatan
apresiasi cerkak, sekaligus upaya pendongkrak angka literasi bangsa Indonesia yang masih rendah.
Pembiasaan yang dapat meningkatkan motivasi siswa untuk mengapresiasi cerkak adalah sebagai berikut: didorong untuk memperoleh pengalaman baru tentang isi cerkak; sering disodori sinopsis cerkak oleh guru di sela-sela pembelajaran; pada prapembelajaran siswa diberi kesempatan selama lima menit untuk menceritakan kembali cerkak
yang telah dibacanya; diperkenalkan beberapa media berbahasa Jawa;
diajak aktif mengisi mading dengan berita/ cerita berbahasa Jawa; diberi
contoh nyata karya cerkak buatan guru yang digunakan sebagai materi ajar dalam pembelajaran berbahasa Jawa (keteladanan).
Kiat yang dapat dilakukan guru agar siswa sukses dalam melakukan aktivitas apresiasi cerkak adalah: mendesain kegiatan apresiasi cerkak
secara berkelanjutan sudah tertuang dalam perangkat pembelajaran
sebagai tugas berstruktur selama satu tahun pelajaran; mempersiapkan
alokasi waktu secara cermat kegiatan apresiasi cerkak, terutama di luar kelas; menyiapkan materi ajar cerkak, misalnya berupa kumpulan cerkak
pilihan, yang dipilih sesuai dengan tingkat perkembangan siswa;
memberikan penguatan pada akhir semester terhadap siswa terbaik dalam
mengapresiasi cerkak; bekerja sama dengan tim majalah dinding
siswa dengan menyiapkan rubrik khusus bahasa Jawa; dan melakukan
sosialisasi program apresiasi cerkak tersebut secara luas pada warga sekolah.
4.2 Saran
Usaha mempertahankan/ melestarikan dan mengembangkan budaya Jawa
adalah tugas semua etnis Jawa. Mustahil akan berhasil apabila tugas
tersebut dibebankan melalui pendidikan formal yang alokasi waktu
pembelajarannya sangat minimal. Orang tua adalah pihak pertama yang
memiliki tanggung jawab moral mewariskan bahasa, sastra, dan budaya Jawa
kepada anak cucunya. Pihak pemerintah daerah juga memiliki potensi
besar pemacu pencapaian tujuan pemertahanan dan pengembangan budaya
Jawa. Dan yang lebih menentukan keberhasilan upaya pemertahanan dan
pengembangan bahasa Jawa adalah partisipasi aktif para siswa.
Kerja sama yang baik antara jalur pendidikan informal (orang tua),
jalur nonformal (masyarakat Jawa secara luas), dan jalur pendidikan
formal (guru dan pemerintah) akan memaksimalkan terwujudnya
pemasyarakatan bahasa Jawa yang mantap dalam wilayah penggunaan yang
lebih luas.
DAFTAR PUSTAKA
Hidayatullah, Furqon. 2009. Guru Sejati: Membangun Insan berkarakter Kuat dan Cerdas. Surakarta: Yuma Pustaka.
Holmes, Janet. 1992. An Introduction to Sociolinguistics. New York: Longman.
Ilahi, Muhammad Takdir. 2009. Ironi Tingkat Literasi Kita. http://mohammadtakdirilahi.blogspot-com. Diakses tanggal 31 Maret 2011.
Kartadinata. 2010. Resureksi Ilmu Pendidikan (Pedagogik) bagi Pemulihan Penyelenggaraan Pendidikan. Bandung: Universitas Pendidikan Bandung.
Nuryatin, Agus. 2010. Mengabadikan Pengalaman dalam Menulis Cerpen. Rembang: Yayasan Adhigama.
Rahim, Farida. 2007. Pengajaran Membaca di Sekolah Dasar. Jakarta: Bumi Aksara.
Rokhman, Fathur. 2005. Pemilihan Bahasa Masyarakat dwibahasa di Banyumas. Rumah Indonesia: Semarang.
Sitanggang, Cormentyna dkk. 2004. Kamus Pelajar. Jakarta: Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional.
Sudjiman, Panuti. (Ed). 1984. Kamus Istilah sastra. Jakarta: Gramedia.
Sukmadinata, Nana Syaodih. 2008. Metode Penelitian Pendidikan. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Sulistyorini, Sri. 2007. Model Pembelajaran IPA Sekolah Dasar. Semarang: Tiara Wacana.
Shvoong.com The Global Source for Summaries&Reviews. Pemertahanan Bahasa Ibu. Diakses tanggal 30 November 2010.
Sumarsono; dan Paina Partana. 2002. Sosiolinguistik. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Witdartomo.2010. “Literasi Memenangi Kehidupan.” Kompas Com, 23 Nopember 2010. http://oase.kompas.com. Diakses tanggal 31 Maret 2011.
0 komentar:
Posting Komentar