Banner 468 x 60px

.

Sabtu, 21 April 2012

Baca Bahasa Jawa Kurang Diminati

0 komentar

Kurangnya Pemahaman
 
 TRATEGI PEMERTAHANAN DAN PENGEMBANGAN BAHASA JAWAMELALUI                OPTIMALISASI SISWA MENGAPRESIASI “CERITA CEKAK”
Abstract
Upaya pemertahanan dan pengembangan bahasa Jawa masih menempatkan siswa sebagai objek, berposisi sebagai penerima petuah. Siswa belum diberdayakan secara optimal, baik di kelas maupun di luar kelas. Siswa memiliki kemampuan yang luar biasa apabila dieksplorasi dan dijadikan sumber daya manusia melalui
strategi pengembangan yang tepat dan menyenangkan untuk mencapai tujuan tersebut. Oleh sebab itu, tujuan

penulisan tinjauan ilmiah ini adalah untuk memaparkan tentang strategi pemertahanan dan pengembangan bahasa Jawa melalui optimalisasi siswa dalam mengapresiasi ‘cerita cekak.’ Lebih lanjut cerita cekak akan disebut cerkak saja.
Permasalahan yang dibahas dalam tinjauan ilmiah ini yaitu:
 (1) Bagaimanakah sikap siswa terhadap upaya pemertahanan dan  pengembangan bahasa Jawa?;
 (2) Pembiasaan apa sajakah yang dapat mempengaruhi minat siswa dalam mengapresiasi cerkak sebagai wujud keikutsertaannya dalam upaya pemertahanan dan  pengembangan bahasa Jawa?;
(3) Kiat apa sajakah yang dapat dilakukan guru agar dapat mensukseskan aktivitas siswa dalam mengapresiasi cerkak sebagai wujud keikutsertaannya dalam upaya pemertahanan dan  pengembangan bahasa Jawa?
Tujuan penulisan tinjauan ilmiah ini adalah:
 (1) memberikan deskripsi tentang sikap siswa secara umum terhadap upaya pemertahanan dan   pengembangan bahasa Jawa;
(2) memaparkan habituasi/ pembiasaan yang dapat mempengaruhi minat siswa dalam mengapresiasi cerkak sebagai wujud keikutsertaannya dalam upaya pemertahanan dan  pengembangan bahasa Jawa;
 (3) merekomendasikan beberapa kiat yang dapat dilakukan guru agar dapat mensukseskan aktivitas siswa dalam mengapresiasi cerkak sebagai wujud keikutsertaannya dalam upaya pemertahanan dan  pengembangan bahasa Jawa.
Tinjauan ilmiah ini ditulis dengan menggunakan metode deskriptif. Hasil pemaparan gagasan berupa pendeskripsian tentang pentingnya melibatkan siswa secara aktif dalam upaya pemertahanan dan pengembangan bahasa  Jawa melalui apresiasi cerkak. Minat siswa terhadap bahasa Jawa diukur berdasarkan indikator sikap kesetiaan, kebanggaan, dan kesadaran akan adanya norma bahasa Jawa. Berdasarkan hasil pengamatan, siswa di wilayah perkotaan Semarang masih rendah minatnya terhadap bahasa Jawa. Pembiasaan yang dapat meningkatkan motivasi siswa untuk mengapresiasi cerkak adalah sebagai berikut: siswa didorong untuk memperoleh pengalaman baru tentang cerkak; siswa sering diberikan sinopsis  cerkak secara menarik, pada prapembelajaran siswa diberi kesempatan lima menit untuk menceritakan kembali cerkak yang telah dibacanya, siswa diperkenalkan beberapa media massa berbahasa Jawa, siswa diajak aktif mengisi mading dengan berita/ cerita berbahasa Jawa, dan siswa diberi contoh nyata karya cerkak guru (keteladanan). Adapun kiat yang dapat dilakukan guru agar siswa sukses mengapresiasi cerkak adalah:
 (1) merencanakan kegiatan apresiasi cerkak sebagai tugas berstruktur selama satu tahun pelajaran;
(2) mempersiapkan alokasi waktu secara cermat kegiatan apresiasi cerkak, utamanya di luar kelas;
 (3) menyiapkan materi ajar cerkak, misalnya berupa kumpulan cerkak pilihan;
(4) memberikan penguatan pada siswa terbaik;
(5) bekerja sama dengan tim majalah dinding sekolah dengan menyiapkan rubrik khusus bahasa Jawa;
(6) melakukan sosialisasi program apresiasi cerkak tersebut secara luas pada warga sekolah.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa keteladanan dari guru dan orang-orang terdekat dalam kehidupan siswa mempunyai potensi besar untuk menggugah potensi siswa dalam berperan aktif mempertahankan dan  mengembangkan bahasa Jawa. Orang tua, masyarakat luas, guru, dan pemerintah daerah bekerja sama untuk mewujudkan tujuan pemertahanan dan pengembangan bahasa Jawa. Jangan sampai siswa pewaris bahasa dan budaya Jawa ‘tidak tahu-menahu’ tentang perkembangan bahasa ibunya. 

I. PENDAHULUAN

Bahasa, sastra, dan budaya Jawa adalah salah satu sarana ‘membangun karakter anak bangsa’ yang efektif. Betapa tidak! Unggah-unguh bahasa dalam dialog keseharian mencerminkan betapa kesantunan penting direalisasikan dalam kehidupan bermasyarakat. Berbagai adicara upacara budaya Jawa sarat dengan ‘pitutur luhur’ yang layak dipertahankan/ dilestarikan dan dikembangkan dalam masyarakat Jawa. Dan melalui berbagai karya sastra Jawa tersirat nilai-nilai kehidupan.
Namun kelebihan budaya Jawa tersebut belum sepenuhnya dimanfaaatkan pemiliknya. Justru ada beberapa masalah yang menyertai ‘keterpurukan bahasa Jawa’. Pertama, banyak generasi muda terkesan ‘kurang bertanggung jawab’ terhadap upaya pemertahanan dan pengembangan bahasa Jawa. Kedua, karena kurang mengenal nilai-nilai luhur budaya Jawa, masih banyak generasi muda bersikap negatif, sebagai bukti dekadensi moral. Ketiga, diperoleh data bahwa tingkat literasi bangsa Indonesia, termasuk suku Jawa, masih rendah.  Hal ini dapat dilihat dari data survei UNESCO tahun 2005. Menurut data Education for All (EFA) dan Global Monitoring Report (GMR) 2005, Indonesia adalah negara ke-8 dengan populasi buta huruf terbesar di dunia (Illahi, 2005).
Kurangnya minat baca dibuktikan dengan indeks membaca masyarakat Indonesia yang baru berkisar 0,001. Angka ini masih sangat jauh dibandingkan dengan angka minat baca di Singapura. Indeks membaca di negara itu mencapai 0,45. Budaya baca masyarakat Indonesia berada di urutan ke-38 dari 39 negara dan merupakan yang paling rendah di kawasan ASEAN. Hal ini diperkuat dengan laporan Witdarmono (Kompas Com, 23 Nopember 2010) menyebutkan bahwa dua alat ukur internasional (Progress in International Reading Literacy Study dan Programme for International student assessment) memperlihatkan tingkat literasi anak-anak Indonesia usia 9-15 tahun berada di peringkat lima terbawah.
Ketidaktertarikan siswa dalam upaya pemertahanan dan pengembangan bahasa Jawa serta rendahnya angka literasi perlu dicarikan jalan keluarnya.  Pasti ada yang salah dalam pola asuh di rumah dan di sekolah. Berdasarkan logika, penguasaan bahasa ibu (baca: bahasa Jawa) seharusnya mereka kuasai terlebih dahulu. Kekurangmampuan menguasai bahasa ibunya ternyata dapat menyebabkan rendahnya minat siswa terhadap bahan bacaan berbahasa Jawa. Dipandang perlu dilakukan satu strategi ‘pembumian’ bahasa Jawa pada generasi muda Jawa melalui pembiasaaan mengapresiasi cerita cekak. Beberapa pertimbangan melatarbelakangi mengapa memilih cerkak dan bukan memilih wacana karya ilmiah.
Pemilihan wacana cerkak dilatarbelakangi ketertarikan siswa. Siswa umumnya lebih memilih wacana fiksi yang ringan dibandingkan dengan wacana ilmiah. Pertimbangan kedua adalah tingkat kesukaran dari keduanya. Cerkak lebih mudah dipahami siswa daripada wacana ilmiah.  Pertimbangan ketiga karena disesuaikan dengan tujuan penggunaan wacana cerkak. Strategi apresiasi cerkak selain dipilih sebagai alternatif untuk mengatasi kecilnya atensi siswa terhadap bahasa Jawa, juga untuk mengatasi rendahnya minat baca, serta merosotnya dekadensi moral kalangan pelajar.
Siswa yang tidak terbiasa membaca diduga akan lebih tidak suka membaca apabila dihadapkan pada bahan bacaan ilmiah. Lebih efektif apabila ‘tingkat pertama’ pembiasaan membaca dimulai dari wacana ringan ‘menyenangkan’ yaitu cerita fiksi berupa cekak. Bahan bacaannya relatif pendek, isinya hasil imajinasi yang tidak harus ditanggapi secara serius, namun di dalamnya menyiratkan banyak nilai kehidupan. Melalui cerkak tersimpan nilai-nilai kehidupan yang penting antara lain menyangkut aspek kejujuran,kemunafikan, keberanian, ketakutan, kebenaran, kebatilan, kesetiaan, penghianatan dan lain-lain (Yudiono 1981:21-22). Dengan membiasakan diri membaca cerkak, siswa akan terbiasa dengan kosa kata bahasa Jawa, mengetahui nilai kesastraan Jawa yang adiluhung, dan secara tidak langsung belajar tentang budaya Jawa yang sering dituturkan dalam cerkak.
Apresiasi cerkak dapat digunakan sebagai salah satu strategi untuk mempertahankan dan meningkatkan eksistensi bahasa Jawa. Apresiasi yang paling ditonjolkan dalam kegiatan mengapresiasi cerkak ini adalah membaca dan menceritakan kembali. Membaca (termasuk di dalamnya membaca cerkak) tidak sekadar aktivitas menyandi (decoding) simbol-simbol ke dalam bunyi bahasa saja, tetapi juga membangun (construct) makna ketika berinteraksi dengan wacana (Rahim 2007:14).
Rumusan masalah dalam penulisan ilmiah berikut ini adalah:
(1) Bagaimanakah sikap siswa terhadap upaya pemertahanan dan pengembangan bahasa Jawa?;
(2) Pembiasaan apa sajakah yang dapat mempengaruhi minat siswa dalam mengapresiasi cerkak sebagai    wujud keikutsertaannya dalam upaya pemertahanan dan pengembangan bahasa Jawa?;
(3) Kiat apa sajakah yang dapat dilakukan guru agar dapat menyukseskan aktivitas siswa dalam mengapresiasi cerkak sebagai wujud keikutsertaannya dalam upaya pemertahanan dan  pengembangan bahasa Jawa?  
Landasan teoretis dalam penulisan makalah ini antara lain meliputi ruang lingkup proses pendidikan, strategi pemertahanan dan pengembangan bahasa Jawa, dan apresiasi cerkak.
Visi makro pendidikan nasional adalah terwujudnya masyarakat madani sebagai masyarakat Indonesia baru dengan tatanan kehidupan yang sesuai dengan amanat proklamasi melalui proses pendidikan (Supratman, 2007:13). Penyelenggaraan pendidikan lebih menekankan proses pendidikan yang tertata, bukan sekadar hasil akhirnya. Sejalan dengan pernyataan tersebut, menurut De Porter dan Hernacki (2000 dalam Hidayatullah, 2009:150) kurikulum sekolah berisi tiga unsur yang disajikan secara harmonis, yaitu:
(1) keterampilan akademik/ Academic Skills;
(2) keteampilan hidup/ Life skills; dan
(3) tantangan-tantangan atau kemampuan fisik/ Physical Challenges.
Tantangan yang muncul dalam upaya pemertahanan dan  pengembangan bahasa Jawa harus diberitahukan secara nyata kepada siswa, sebagai generasi muda pemilik warisan budaya Jawa. Agar tantangan tersebut dapat direspon dengan baik, perlu satu strategi yang dapat diterapkan secara leluasa, baik waktu siswa berada di lingkup sekolah (30%) maupun waktu dia sebagai anggota masyarakat Jawa (70%) .
Upaya ‘penyadaran siswa perkotaan’ tersebut perlu strategi. Strategi (Sulistyorini,2007) merupakan pola umum aktivitas guru-siswa di dalam perwujudan kegiatan pembelajaran. Strategi yang dimaksudkan di sini adalah aktivitas belajar siswa di luar kelas dalam mengapresiasi cerkak berdasarkan panduan guru dalam rangka mempertahankan dan mengembangkan budaya Jawa.
Pemertahanan merupakan satu kegiatan untuk tidak mau menyerah, berkeras hati, melakukan tindakan supaya tetap utuh (Sitanggang,2004). Pemertahanan/ pelestarian bahasa Jawa dilakukan agar penggunaan bahasa Jawa tetap awet, tidak tergerus oleh pengaruh bahasa lainnya. Pemertahanan bahasa Jawa, yang berkedudukan sebagai language maintenance lazim didefinisikan sebagai upaya yang disengaja, yang bertujuan untuk  mewujudkan diversitas kultural, memelihara identitas etnis, memungkinkan adaptabilitas sosial, secara psikologis menambah rasa aman bagi anak, dan meningkatkan kepekaan linguistis (Crystal, 1997). Tujuan utama upaya pemertahanan bahasa Jawa adalah bahasa dan budaya lokal tersebut tetap berdiri kokoh dan menjadi pilihan penutur serta mitra tutur dalam kegiatan keseharian masyarakat daerah tersebut.
Pengekalan budaya Jawa tidak berhenti pada upaya pemertahanan saja, idealnya harus diikuti upaya pengembangan bahasa Jawa tersebut. Pengembangan bahasa Jawa mengandung maksud jangkauan penggunaan bahasa tersebut lebih luas, sehingga semakin maju. Pemertahanan dan pengembangan bahasa Jawa dapat dilakukan melalui strategi apresiasi cerkak  para siswa belajar bahasa, sastra, dan budaya Jawa dengan lebih leluasa.
Yang dimaksud siswa dalam pembahasan ini adalah para pelajar, khususnya siswa SD kelas tinggi, siswa SMP, dan siswa SMA atau sederajat. Siswa yang berdomisili di wilayah perkotaan Semarang dipilih sebagai sumber pengamatan, karena sebagian besar mereka dalam keseharian sudah menggunakan dua bahasa (bahasa Jawa, minoritas, dan bahasa Indonesia, mayoritas). Siswa dalam kelompok ini dipandang sangat perlu mendapat ‘perlakuan khusus’, agar segera menyadari pentingnya upaya pelestarian bahasa ibu (baca: bahasa Jawa).
Cerita cekak/ cerkak adalah kisahan pendek  (kurang dari 10.000 kata) yang dimaksudkan memberikan kesan tunggal yang dominan, memusatkan diri pada satu tokoh dalam satu situasi pada satu situasi yang mengandung satu tikaian dramatik/ konfliks. Tikaian dramatik merupakan perbenturan antara kekuatan yang berlawanan, merupakan inti dari cerpen/ cerkak (Sudjiman (Ed) 1984:15).
Apresiasi (Sitanggang, 2004:53) adalah penghargaan terhadap sesuatu. Optimalisasi apresiasi cerkak adalah usaha maksimal siswa untuk lebih menghagai cerita rekaan singkat agar lebih mengerti tentang bahasa, sastra, dan budaya Jawa sehingga turut terlibat aktif dalam melestarikannya. Sikap menghargai cerkak meliputi kegiatan membaca, menceritakan kembali, memberi penilaian/ kritik, dan bila perlu turut memproduksinya. 

II. METODE
Penulisan tinjauan ilmiah ini menggunakan metode deskriptif (Sukmadinata, 2008). Penyajian gagasan berupaya memberikan gambaran tentang fenomena perilaku siswa terhadap budaya Jawa, hasil analisis tentang habituasi yang dapat mempengaruhi sikap/ minat siswa terhadap kegiatan apresiasi cerkak, dan hasil kegiatan sintesis  tentang gambaran kiat-kiat yang dapat dilakukan guru dalam upaya pelestarian budaya Jawa. Sumber pengamatan adalah perilaku siswa SD (kelas tinggi), SMP, SMA dan sederajat. Lokasi pengamatannya adalah wilayah perkotaan di Semarang. Hasil pengamatan tentang perilaku siswa digambarkan sesuai kondisi yang ada. 

III.  PEMBAHASAN

3.1  Minat Siswa terhadap Bahasa Jawa
Kajian tentang bahasa yang dikaitkan dengan faktor di luar bahasa semakin berkembang sejak pertengahan abad ke-19 (Rokhman, 2005:1). Holmes (1992:56) menyatakan bahwa berkenaan dengan kemungkinan-kemungkinan pengaruh kontak bahasa, ada beberapa faktor yang membuat sekelompok masyarakat bergeser dari penggunaan satu bahasa ke bahasa lain ketika mereka berkomunikasi.
Bahasa yang bergeser adalah bahasa yang tidak mampu mempertahankan diri (Sumarsono dan Partana 2002:231). Dalam literatur sosiolinguistik makro, kajian pemertahanan bahasa lazimnya tertuju pada bahasa ibu dalam konteks bilingual, yang dalam hal ini terdapat bahasa ibu dan bahasa kedua/ nasional (minor language, major language).
Hal itu sangat mungkin terjadi pada masyarakat Indonesia yang berasal dari berbagai etnis (bersifat heterogen). Kenyataan bahwa masyarakat Jawa umumnya, khususnya para siswa yang berdomisili di  perkotaan, kurang peduli terhadap berkembangnya bahasa daerah. Bahasa Jawa itu secara lambat sudah mengalami pergeseran (language shift), bahkan bisa saja menuju ke arah kepunahan bahasa (language death). Betapa mengerikan! Seharusnyalah para siswa pewaris budaya Jawa mengetahui kemungkinan terburuk nasib bahasa dan budaya Jawa, yang menjadi warisan budaya dari leluhurnya.
Pembentukan karakter dan pembiasaan menggunakan bahasa Jawa diawali dari pendidikan dalam keluarga, sebagai wujud pola pengasuhan (parenting style) keluarga. Pendidikan informal (dalam keluarga dan lingkungan) memiliki kontribusi yang sangat besar (70%) dalam keberhasilan pendidikan. Beban dan tanggung jawab orang tua dalam mendidik anaknya tidak bisa dialihkan (Kartadinata, 2010).  Generasi muda, terutama saat anak-anak yang masuk tahap masa keemasan penguasaan bahasa, perlu secara intensif diperkenalkan kepada bahasa daerah oleh orang tua dan dilanjutkan upaya pembiasaan penggunaan bahasa daerah tersebut.
Pemertahanan/ pelestarian bahasa Jawa adalah tanggung jawab bersama pemilik bahasa etnis tersebut. Orang tua harus betul-betul bertujuan mewariskan bahasa etnisnya pada keturunannya, seperti halnya keinginan mewariskan kekayaan berupa harta misalnya. Sikap dan perilaku orang tua benar-benar dapat diteladani para putranya dalam hal memperlakukan bahasa etnis tersebut. Sekali lagi, orang tua “melakukan kegiatan mewariskan bahasa Jawa”, bukan “menceritakan bahasa Jawa.” Semua orang tua yang merasa memiliki bahasa etnis tersebut harus memiliki emosi untuk mempertahankannya. Tanpa emosi, lewatlah upaya pewarisan bahasa kepada para generasi penerus etnis. Namun tampaknya kewajiban orang tua belum berjalan seperti yang diharapkan tersebut. Minat siswa terhadap bahasa Indonesia masih perlu ditingkatkan lagi.
Beberapa indikator dapat digunakan untuk mengungkap minat siswa terhadap keberadaan bahasa Jawa. Indikator yang mencerminkan ciri sikap positif terhadap bahasa Jawa sebagai bagian dari budaya Jawa dapat dideskripsikan berikut:
(1) siswa mampu menunjukkan sikap setia  menggunakan bahasa Jawa dalam komunikasi sehari-hari di rumah;
(2) siswa memiliki kebanggaan dalam memahami, menggunakan, dan mengapresiasi bahasa Jawa;
(3) siswa mampu menunjukkan kesadaran akan adanya norma bahasa Jawa.
Berdasarkan pengamatan dan wawancara berbahasa Jawa,  siswa secara umum kurang dapat berkomunikasi secara lancar. Umumnya jawaban pendek ‘inggih’ dan ‘boten’ dapat digunakan dengan baik. Namun bila jawabannya membutuhkan paparan yang cukup panjang, mereka lebih suka menjawab dalam bentuk campur kode (bahasa   Indonesia dan bahasa Jawa digunakan bersamaan dalam satu kalimat). Bahkan ada yang beberapa siswa yang  menjawab pertanyaan berbahasa Jawa dengan bahasa Indonesia sepenuhnya. Siswa umumnya kurang bersikap positif, tidak berusaha mendorong diri dan lingkungannya untuk mempertahankan kemandirian bahasanya. Siswa tidak bersikap mencegah masuknya bahasa lain. Hal ini menunjukkan siswa belum memiliki kesetiaan terhadap bahasa Jawa sebagai kekayaan kultur daerahnya.
Siswa secara umum kurang percaya diri dalam menggunakan bahasa Jawa. Mereka tidak berusaha maksimal untuk berbahasa Jawa secara benar dalam kelompoknya, sehingga identitas pribadi dan kelompoknya belum dapat digunakan sebagai pembeda dari kelompok lainnya. Ini menunjukkan bahwa kebanggaan berbahasa Jawa belum melekat dalam diri siswa.
Pada umumnya siswa kurang antusias mempelajari norma-norma bahasa Jawa. Gradasi yang ada dalam bahasa Jawa tidak dikuasai dengan baik. Siswa secara serampangan menggunakan kosa kata bahasa Jawa tanpa mengingat lawan bicaranya. Dalam lingkungan pergaulan siswa di perkotaan Jawa Semarang, unggah-ungguh bahasa Jawa dianggap sebagai sesuatu yang susah diterapkan dalam keseharian. Sikap cermat, korek, dan santun berbahasa Jawa belum muncul dalam diri siswa. Hal ini dapat ditemukan cara mereka menjawab LKS (lembar kerja siswa) apabila tidak ada bantuan dari guru maupun orang tua. Bagi orang yang paham bahasa Jawa, jawaban siswa tampak sangat aneh. Misalnya: Bapak turu; Aku turu. Hal ini menunjukkan siswa belum mandiri dalam menggunakan bahasa Jawa. Berarti kesadaran akan adanya norma bahasa Jawa belum dimiliki siswa.  
Berdasarkan tiga indikator tersebut dapat disimpulkan bahwa siswa belum terlibat secara emosional untuk mempertahankan dan mengembangkan budaya Jawa secara luas. Siswa umumnya belum mampu menunjukkan sikap setia, bangga, dan sikap menunjukkan kesadaran akan adanya norma dalam  menggunakan bahasa Jawa dalam komunikasi sehari-hari.
Umumnya siswa di wilayah perkotaan Semarang perlu ditumbuhkan minat/ motivasinya untuk turut aktif mempertahankan dan mengembangkan bahasa Jawa, juga sekali gus sebagai upaya pendongkrak angka literasi bangsa Indonesia.
Agar ada kesetiaan para pemilik bahasa (language loyalty) terhadap bahasa daerahnya, upaya pemertahanan dan pengembangan bahasa sebaiknya dilakukan secara bersama antara masyarakat pemilik bahasa tersebut dan pemerintah. Satu contoh tataran kebijakan makro telah dilakukan di Jawa Barat untuk melindungi pelestarian budaya lokal, termasuk di dalamnya bahasa daerah setempat. Sudah terbit tiga peraturan daerah (Perda), yaitu:
1) Perda Nomor 5 Tahun 2003 tentang pemeliharaan bahasa, sastra dan aksara daerah,
(2) Perda Nomor 6 Tahun 2003 tentang pemeliharaan kesenian, dan
(3) Perda Nomor 7 Tahun 2003 tentang pengelolaan kepurbakalaan, kesejarahan, nilai tradisional dan museum. Ini merupakan kebijakan pemerintahan yang sangat mendukung terhadap upaya pemertahanan bahasa daerah.
Peraturan daerah tersebut seyogianya segera diikuti dengan pembentukan tim perencana bahasa daerah yang beranggotakan para pakar terkait seperti ahli perencanaan bahasa, linguistik, sastra, seni, pengajaran bahasa, penerbitan, naskah, dan kebudayaan. Karena kebudayaan etnis dibangun melalui bahasa etnis, maka bahasa etnis harus direkayasa, yakni dipertahankan dan diberdayakan melalui beberapa strategi sesuai dengan lingkupnya sebagai upaya revitalisasi jati diri untuk menunjang kebudayaan nasional. Sikap dan kesadaran berbahasa pemilik dan penutur bahasa daerah tersebut kemudian akan tercermin dalam perilaku berbahasanya (Pateda, 1990:25-32). Sudah sewajarnya bila kita sebagai pemilik bahasa Jawa berusaha memertahankan dan mengembangkan bahasa Jawa tersebut dengan berbagai kiat yang efektif dan strategis.
Selain pemerintah, guru juga memiliki potensi yang terandalkan untuk memacu minat siswa melalui kegiatan apresiasi cerkak. Upaya guru tersebut dapat dimulai dari mengidentifikasi sejumlah habituasi/ pembiasaan yang dapat meningkatkan minat siswa dalam mengapresiasi cerkak.

3.2  Pembiasaan-pembiasaan yang dapat Meningkatkan Minat Siswa dalam Mengapresiasi Cerkak
Pembiasaan yang dapat meningkatkan motivasi siswa untuk mengapresiasi cerkak adalah sebagai berikut: (1) siswa didorong untuk memperoleh pengalaman baru tentang isi cerkak;
(2) siswa sering disodori sinopsis  cerkak atau sekali-sekali diberikan cerita isi cerkak secara menarik di sela-sela pembelajaran,
(3) pada prapembelajaran siswa diberi kesempatan selama lima menit untuk menceritakan kembali cerkak yang dibacanya pada minggu lalu,
(4) siswa diperkenalkan beberapa media berbahasa Jawa (konsekuensinya sekolah berlangganan majalah pendidikan berbahasa Jawa),
(5) siswa diajak aktif mengisi majalah dinding dengan berita/ cerita berbahasa Jawa,
(6) siswa diberi contoh nyata karya cerkak guru yang digunakan sebagai materi ajar dalam pembelajaran berbahasa Jawa (keteladanan).
Pengalaman baru mengenal cerkak dengan cara yang menarik dapat mempengaruhi siswa untuk melanjutkan kegiatannya tersebut. Guru perlu mendesain pemberian motivasi yang menarik perhatian siswa, sehingga mereka dengan kesadaran dan keingintahuan mencari sebuah cerkak di perpustakaan. Jangan sampai guru menuturkan sepenggal kisahan sebagai pendorong siswa agar siswa melanjutkan membaca cerkak tersebut, ternyata siswa tak dapat memperoleh cerkak yang dimaksud di lingkungan terdekatnya. Bukan rahasia lagi kalau sekolah-sekolah umumnya kurang memiliki koleksi bahan bacaan berbahasa Jawa. Kalau pun ada, jumlahnya terbatas.
Siswa sering disodori/mendengarkan sinopsis cerkak oleh guru di sela-sela pembelajaran. Biasanya siswa akan menagih bila sudah lama guru yang suka bercerita tidak memberikan ‘bonus’ satu kisah fiksi. Penyajian cerita dari guru tentu saja disesuaikan dengan kompetensi yang sedang dibelajarkan, agar tidak merugikan siswa dalam penguasaan seluruh KD dalam standar isi kurikulum bahasa Jawa. Bahkan guru serumpun (bahasa Indonesia dan bahasa Inggris) bisa diminta dukungannya, disesuaikan dengan mata pelajarannya.
Pada prapembelajaran seorang siswa diberi kesempatan selama lima menit untuk menceritakan kembali cerkak yang telah dibacanya. Alokasi jam pelajaran bahasa Jawa sangat terbatas, maka pandai-pandailah guru mengatur berbagai kegiatan secara mendetail. Dan sebetulnya sudah saatnya pihak yang berwenang memikirkan pembenahan alokasi jam pelajaran bahasa Jawa, minimal dengan pertimbangan alokasi bahasa asing (misal bahasa Inggris) yang tampak timpang. Setidak-tidaknya alokasi kedua mata pelajaran tersebut (bahasa Jawa dan bahasa Inggris dibuat berimbang). Bukankah budaya sendiri harus lebih dikenal dari pada budaya asing?
Siswa diperkenalkan dengan berbagai harian dan media cetak berbahasa Jawa yang dapat mereka baca. Ada Jaya Baya, Joko Lodang, Penjebar semangat, dan lainnya. Sebaiknya guru bahasa Jawa juga mengusulkan sekolah berlangganan media berbahasa Jawa tersebut, setidak-tidaknya media berbahasa lokal yang terbit di daerahnya. Kenyataan yang ada belum semua sekolah mengadakan media pembelajaran lokal demikian, padahal dana BOS (Bantuan Operasional sekolah) sebenarnya dapat digunakan untuk alokasi pendanaan tersebut. Juga ada yang tampak aneh, beberapa sekolah sudah berlangganan media yang dimaksud, namun penerbitnya di luar wilayah siswa belajar. Sebagai misal SMP di kota Semarang umumnya berlangganan Penjebar Semangat yang terbit di Surabaya, sedangkan media lokal tidak ada di perpustakaan. Ini dapat dijadikan bahan pertimbangan pengadaan. Kalau penerbit dekat dengan siswa, minimal siswa suatu ketika bisa melihat, bahkan berkunjung untuk sekadar melihat-lihat atau bahkan terlibat dalam kegiatan penulisan di media tersebut. Akan lebih baik kalau sekolah tidak hanya berlangganan satu media saja. Lebih lanjut guru memberikan dorongan bagi siswa yang mampu untuk berlangganan sendiri di rumah. Selama ini media berbahasa Jawa sangat terbatas peminatnya. Siapa lagi yang membacanya secara ritun, kalau bukan pemilik bahasa tersebut.
Selama ini mading (majalah dinding) sudah banyak diaktifkan di sekolah-sekolah. Rubrik berbahasa Jawa umumnya belum dijadikan kolom khusus yang perlu dimunculkan pada setiap penerbitannya, umumnya hanya sekali-sekali muncul. Guru bahasa Jawa sebaiknya melihat hal ini sebagai peluang, bekerja sama dengan tim mading untuk memunculkan secara tetap rubrik berbahasa Jawa.

3.3  Kiat-kiat Guru Menyukseskan Aktivitas Siswa dalam Mengapresiasi Cerkak
Tujuan pemertahanan dan pelestarian bahasa Jawa akan dapat dicapai secara efektif bila ada kiat yang telah ditetapkan. Kiat (Sitanggang, 2004) adalah akal yang sangat jitu. Kiat untuk mempertahankan dan melestarikan bahasa Jawa dapat ditempuh melalui tiga ranah pendidikan, yakni
(1) ranah pendidikan informal,
(2) ranah pendidikan nonformal, dan juga
(3) ranah pendidikan formal.
Ketiga ranah tersebut dapat dipadukan oleh seorang guru, dikemas dalam kegiatan apresiasi cerkak. Siswa dapat beraktivitas di rumah, di luar kelas, dan sedikit waktu (diselipkan dalam pembelajaran kompetensi lain) di dalam kelas. Dengan demikian guru lebih mengoptimalkan siswa dalam upaya melestarikan bahasa Jawa melalui pembiasaan siswa mengapresiasi cerkak.
Kiat yang dapat dilakukan guru adalah:
(1) merencanakan kegiatan apresiasi cerkak secara berkelanjutan sudah tertuang dalam perangkat pembelajaran sebagai tugas berstruktur selama satu tahun pelajaran;
(2) mempersiapkan alokasi waktu secara cermat kegiatan apresiasi cerkak di sela-sela pembelajaran formal, utamanya di luar kelas;
(3) menyiapkan materi ajar cerkak, misalnya berupa kumpulan cerkak pilihan,  yang dipilih sesuai dengan tingkat perkembangan siswa;
(4) memberikan penguatan pada akhir semester berupa hadiah khusus siswa terbaik dalam mengapresiasi cerkak;
(5) bekerja sama dengan tim majalah dinding siswa dengan menyiapkan rubrik khusus bahasa Jawa;
(6) melakukan sosialisasi program apresiasi cerkak tersebut secara luas pada warga sekolah. 

IV.  PENUTUP

4.1    Simpulan
Siswa di wilayah perkotaan Semarang umumnya belum terlibat secara emosional untuk mempertahankan dan mengembangkan bahasa Jawa. Mereka belum menunjukkan sikap setia, bangga, dan belum menunjukkan kesadaran akan adanya norma dalam  menggunakan bahasa Jawa dalam komunikasi sehari-hari. Mereka perlu ditumbuhkan minat/ motivasinya untuk turut aktif mempertahankan dan mengembangkan bahasa Jawa melalui kegiatan apresiasi cerkak, sekaligus upaya pendongkrak angka literasi bangsa Indonesia yang masih rendah.
Pembiasaan yang dapat meningkatkan motivasi siswa untuk mengapresiasi cerkak adalah sebagai berikut: didorong untuk memperoleh pengalaman baru tentang isi cerkak; sering disodori sinopsis  cerkak oleh guru di sela-sela pembelajaran; pada prapembelajaran siswa diberi kesempatan selama lima menit untuk menceritakan kembali cerkak yang telah dibacanya; diperkenalkan beberapa media berbahasa Jawa; diajak aktif mengisi mading dengan berita/ cerita berbahasa Jawa; diberi contoh nyata karya cerkak buatan guru yang digunakan sebagai materi ajar dalam pembelajaran berbahasa Jawa (keteladanan).
Kiat yang dapat dilakukan guru agar siswa sukses dalam melakukan aktivitas apresiasi cerkak adalah: mendesain kegiatan apresiasi cerkak secara berkelanjutan sudah tertuang dalam perangkat pembelajaran sebagai tugas berstruktur selama satu tahun pelajaran; mempersiapkan alokasi waktu secara cermat kegiatan apresiasi cerkak, terutama di luar kelas; menyiapkan materi ajar cerkak, misalnya berupa kumpulan cerkak pilihan,  yang dipilih sesuai dengan tingkat perkembangan siswa; memberikan penguatan pada akhir semester terhadap siswa terbaik dalam mengapresiasi cerkak; bekerja sama dengan tim majalah dinding siswa dengan menyiapkan rubrik khusus bahasa Jawa; dan melakukan sosialisasi program apresiasi cerkak tersebut secara luas pada warga sekolah.

4.2    Saran
Usaha mempertahankan/ melestarikan dan mengembangkan budaya Jawa adalah tugas semua etnis Jawa. Mustahil akan berhasil apabila tugas tersebut dibebankan melalui pendidikan formal yang alokasi waktu pembelajarannya sangat minimal. Orang tua adalah pihak pertama yang memiliki tanggung jawab moral mewariskan bahasa, sastra, dan budaya Jawa kepada anak cucunya. Pihak pemerintah daerah juga memiliki potensi besar pemacu pencapaian tujuan pemertahanan dan pengembangan budaya Jawa. Dan yang lebih menentukan keberhasilan upaya pemertahanan dan pengembangan bahasa Jawa adalah partisipasi aktif para siswa.
Kerja sama yang baik antara jalur pendidikan informal (orang tua), jalur nonformal (masyarakat Jawa secara luas), dan jalur pendidikan formal (guru dan pemerintah) akan memaksimalkan terwujudnya pemasyarakatan bahasa Jawa yang mantap dalam wilayah penggunaan yang lebih luas.  



DAFTAR PUSTAKA

Hidayatullah, Furqon. 2009. Guru Sejati: Membangun Insan berkarakter Kuat dan Cerdas. Surakarta: Yuma Pustaka.
Holmes, Janet. 1992. An Introduction to Sociolinguistics. New York: Longman.
Ilahi, Muhammad Takdir. 2009. Ironi Tingkat Literasi Kita. http://mohammadtakdirilahi.blogspot-com. Diakses tanggal 31 Maret 2011. 
Kartadinata. 2010. Resureksi Ilmu Pendidikan (Pedagogik) bagi Pemulihan Penyelenggaraan Pendidikan. Bandung: Universitas Pendidikan Bandung.
Nuryatin, Agus. 2010. Mengabadikan Pengalaman dalam Menulis Cerpen. Rembang: Yayasan Adhigama.
Rahim, Farida. 2007. Pengajaran Membaca di Sekolah Dasar. Jakarta: Bumi Aksara.
Rokhman, Fathur. 2005. Pemilihan Bahasa Masyarakat dwibahasa di Banyumas. Rumah Indonesia: Semarang.
Sitanggang, Cormentyna dkk. 2004. Kamus Pelajar. Jakarta: Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional.
Sudjiman, Panuti. (Ed). 1984. Kamus Istilah sastra. Jakarta: Gramedia.
Sukmadinata, Nana Syaodih. 2008. Metode Penelitian Pendidikan. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Sulistyorini, Sri. 2007. Model Pembelajaran IPA Sekolah Dasar. Semarang: Tiara Wacana.
Shvoong.com The Global Source for Summaries&Reviews. Pemertahanan Bahasa Ibu. Diakses tanggal 30 November 2010.
Sumarsono; dan Paina Partana. 2002. Sosiolinguistik. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Witdartomo.2010. “Literasi Memenangi Kehidupan.” Kompas Com, 23 Nopember 2010. http://oase.kompas.com. Diakses tanggal 31 Maret 2011.

0 komentar:

Posting Komentar